• Jl.Medan Merdeka Barat No.8 Jakarta Pusat 10110 - Indonesia

Manajemen Risiko, Kenapa Penting Bagi Lembaga Sektor Publik?

Penulis : Yosep Yogo Widhiyatmoko

Purwodadi – Pemerintah Republik Indonesia terus berbenah untuk menghadapi era globalisasi. Salah satunya Negara mengalami perubahan ke arah lebih baik dalam hal pengelolaan lembaga publik yang ada di dalamnya, baik lembaga pemerintahan pusat maupun di pemerintahan daerah.

Pengelolaan lembaga publik yang dimaksud adalah dalam konten tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), seperti halnya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) apabila dikaitkan dengan pengelolaan perusahaan.

Tata kelola pemerintahan yang baik terdiri dari berbagai aspek manajemen, salah satunya manajemen risiko yang hadir melengkapi regulasi tata kelola pemerintahan di Republik Indonesia.

Perlu diketahui bahwa tata kelola pemerintah yang baik awalnya banyak diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti World Bank, Asian Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi pinjaman lainnya yang berasal dari Negara-Negara maju. Good Governance dijadikan aspek pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman maupun hibah.

Konsep good governance di Indonesia mulai muncul setelah era reformasi dimulai yang dilatarbelakangi oleh masalah-masalah peninggalan pemerintah orde baru. Seperti pemerintahan yang berpusat pada presiden, lembaga tinggi negara yang tidak berjalan baik, serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.

Ketika masa reformasi dulu, badan eksekutif serta legislatif berhasil merumuskan tiga Undang-undang yang kemudian mengubah sistem pemerintahan di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah, baik Kabupaten maupun Kota, untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan. Undang-undang ini berperan penting dalam mengubah kebijakan serta perencanaan pembangunan di daerah sehingga lebih sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakatnya.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan mengalokasikan dana dalam melaksanakan pembangunan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang pelaksanaan di bidang pembangunan serta pelaksanaan pemerintahan pada tingkat pusat maupun daerah. UU Nomor 28 Tahun 1999 inilah yang kemudian menjadi landasan awal dari penerapan good governance sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan.

Tiga Undang-undang di atas menjadi pondasi utama penerapan konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pemerintah Indonesia dikemudian hari terus menerus mengembangkan regulasi di bidang good governance. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya istilah akuntabilitas kinerja di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, lalu muncul istilah good governance pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Kemudian pada tahun 2014 muncul UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dengan beberapa perubahan ditahun mendatang, dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, setelah sebelumnya di tahun yang sama pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Dari dasar hukum diatas, istilah manajemen risiko muncul secara eksplisit di dalam PP Nomor 60 Tahun 2008. PP tersebut menyebutkan bahwa Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai dengan tujuan untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Manajemen Risiko menjadi salah satu dari unsur-unsur dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang meliputi lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan pengendalian intern.

Menilik definisi dan unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern tersebut, manajemen risiko kemudian dapat diterjemahkan sebagai salah satu bagian dari proses yang integral yang harus dilakukan untuk tercapainya tujuan organisasi pemerintahan.

Peran manajemen risiko sendiri, ada di dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 pasal 11 huruf b, yang menyebutkan peran aparat pengawas intern pemerintah diharuskan (salah satunya) yakni memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.

Maka jelas bahwa fungsi untuk memberikan peringatan dini harus dilakukan, dan alat yang dapat digunakan adalah manajemen risiko.

Merujuk pada majalah Paris Review Edisi Tahun 2020/No.12, sebuah media publikasi yang diterbitkan oleh BPKP Provinsi Yogyakarta. Pada edisi tersebut BPKP secara khusus mengulas perihal manajemen risiko, lengkap dengan teori dan potret implementasi di lapangan.

Pada halaman 13 majalah tersebut, disebutkan bahwa rekaman tertua tentang praktik manajemen risiko telah ada sejak tahun 2100 sebelum masehi pada Piagam Hammurabi. Piagam tersebut mencantumkan peraturan bahwa pemilik kapal dapat meminjam uang untuk membeli kargo, namun bila dalam perjalanan kapalnya tenggelam atau hilang, ia tidak perlu mengembalikan uang pinjaman tersebut. Fase ini dikenal sebagai era pertama manajemen risiko, ditandai dengan perusahaan yang hanya melihat risiko non entrepreneurial, misalnya risiko keamanan.

Tahun 1970-an dan 1980-an disebut sebagai era kedua manajemen risiko. Perusahaan-perusahaan asuransi mulai berusaha mendorong pengusaha untuk benar-benar menjaga barang yang diasuransikan. Pada masa ini juga lahir konsep jaminan mutu (quality assurance) yang menjamin setiap produk memenuhi spesifikasi standarnya. Konsep ini dipopulerkan oleh British Standards Institution yang meluncurkan standar kualitas BS 5750 pada tahun 1979.

Era ketiga manajemen risiko dimulai tahun 1995 dengan diterbitkannya AS/NZS 4360:1995 oleh Standards Australia of the World's Risk Management Standard. Hingga saat ini, manajemen risiko telah berkembang dengan penambahan dua rujukan besar yang menjadi standar internasional penerapan manajemen risiko yaitu COSO Enterprise Risk Management–Integrated Framework 2004 yang menggabungkan pendekatan manajemen risiko dengan pengendalian internal, dan ISO 31000: 2009 Risk Management – Principles and Guidelines.

Di Indonesia, manajemen risiko pertama kali diterapkan pada tahun 2008 di Kementerian Keuangan sebagai jawaban atas mandat Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang di dalamnya mengatur bahwa manajemen risiko sudah harus diterapkan di seluruh instansi pemerintahan.

Manajemen risiko menurut PP 60/2008 dan perkembangannya mengambil intisari dari tiga kerangka manajemen risiko dari tiga mahzab besar standar internasional manajemen risiko yaitu AS/NZS 4360:2004, COSO ERM-2004 dan ISO 31000:2018.

Ketiga model manajemen risiko pada  prinsipnya memberikan gambaran terhadap suatu penentuan strategi yang didesain untuk mengidentifikasi kondisi/peristiwa potensial yang mungkin mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi dan mengelola risiko yang mungkin terjadi, untuk memberikan keyakinan yang memadai pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud dengan penekanan pada budaya risiko, sistem, dan proses manajemen risiko.

Bila diterjemahkan, dengan menggunakan manajemen risiko maka suatu organisasi dalam konteks sektor publik, akan mampu melihat hal yang mungkin akan terjadi, dan yang masuk kategori berpotensi mempengaruhi kinerja organisasi tersebut.

Sebagai bagian dari organisasi Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Balai Perawatan Perkeretaapian turut mengambil peran sebagai bagian dari motor dalam upaya penerapan manajemen risiko di lingkungan internal balai. Kegiatan pengelolaan manajemen risiko berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Perkeretaapian Nomor : HK.209/3/19/DJKA/2022 tentang Pedoman Teknis Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Upaya tersebutlah yang kemudian nantinya menjadi satu kesatuan dalam kerangka implementasi manajemen risiko Ditjen Perkeretaapian. (yogo)

Share to:

Berita Terkait:

F